Assalammualaikum
sahabat sahabat setiaku yang telah menunggu blog keduaku.^^ Mohon maaf
jika blogku telalu sederhana,aku masih newbie. Kalau sahabat sahabat mau
menologku cara mendesain blog supaya menarik,bisa kirim ke emailku :
IfaNuraini64@gmail.com . Terimakasih.Selamat membaca.Semoga bacaan ini
bermanfaat bagi kita semua. See you next time....
Latar belakang terjadinya kemerdekaan
Sesuai dengan
perjanjian Wina pada tahun
1942,
negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki
Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
Mendaratnya Belanda diwakili NICA
Berdasarkan
Civil Affairs Agreement, pada
23 Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh.
15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di
Jakarta, dengan didampingi
Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada
Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi
NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh
Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio
Ratu Wilhelmina tahun
1942(
statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan
Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan
Jepang.
Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan
dibentuk sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya adalah Kerajaan
Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.
Pertempuran melawan Sekutu dan NICA
Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu dan
NICA ke Indonesia, yang saat itu baru
menyatakan kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
- Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya dan sekitarnya.
- Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
- Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur
- Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya.
- Pertempuran Medan Area, di daerah Medan dan sekitarnya.
- Pertempuran Margarana, di Bali
- Serangan Umum 1 Maret 1949, di Yogyakarta
- Pertempuran Lima Hari Lima Malam, di Palembang
- Pertempuran Lima Hari, di Semarang
Perubahan sistem pemerintahan
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari
sistem Presidensiil menjadi
sistem Parlementer) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan
Inggris dan
Belanda,
Sutan Sjahrirdinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.
Ketika Syahrir mengumumkan
kabinetnya,
15 November 1945, Letnan
Gubernur Jendral van Mook mengirim kawat kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan (
Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen),
J.H.A. Logemann, yang berkantor di
Den Haag: "
Mereka sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan". Logemann sendiri berbicara pada siaran radio
BBC tanggal
28 November 1945, "
Mereka
bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak akan
pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan
Sjahrir". Tanggal
6 Maret 1946 kepada van Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah
persona non grata.
Pihak
Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah sistem
pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer, karena seminggu
sebelum perubahan pemerintahan itu,
Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini, sebaliknya
Sjahrir mengumumkan pada tanggal
4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan
Belanda atas Republik Indonesia.
1946
Ibukota pindah ke Yogyakarta
Menjelang berakhirnya tahun 1945 situasi keamanan ibukota
Jakarta (saat itu masih disebut
Batavia)
makin memburuk dengan terjadinya saling serang antara kelompok
pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda. Ketua Komisi Nasional Jakarta,
Mr.
Mohammad Roem mendapat serangan fisik. Demikian pula, Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Penerangan Mr.
Amir Sjarifuddin juga nyaris dibunuh simpatisan Belanda (
NICA)
[5]. Karena itu pada tanggal
1 Januari 1946 Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada
Balai Yasa Manggarai untuk
segera menyiapkan rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi
negara. Pada tanggal 3 Januari 1946 diputuskan bahwa Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden
Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya meninggalkan Jakarta dan pindah ke
Yogyakarta sekaligus pula memindahkan
ibukota; meninggalkan Perdana Menteri
Sutan Syahrir dan kelompok yang bernegosiasi dengan
Belanda di
Jakarta[6]. Perpindahan dilakukan menggunakan kereta api berjadwal khusus, sehingga disebut sebagai KLB (Kereta Luar Biasa).
Perjalanan KLB ini menggunakan
lokomotif uap nomor
C2849 bertipe C28 buatan pabrik Henschel, Jerman, dengan rangkaian
kereta inspeksi yang biasa digunakan untuk Gubernur Jenderal Hindia
Belanda, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA)
[7][5].
Rangakaian terdiri dari delapan kereta, mencakup satu kereta bagasi,
dua kereta penumpang kelas 1 dan 2, satu kereta makan, satu kereta tidur
kelas 1, satu kereta tidur kelas 2, satu kereta inspeksi untuk
presiden, dan satu kereta inspeksi untuk wakil presiden
[5]. Masinis adalah Kusen, juruapi (stoker) Murtado dan Suad, serta pelayan KA Sapei
[5]. Perjalanan diawali sore hari, dengan KLB
rangsir dari
Stasiun Manggarai menuju
Halte Pegangsaan (sekarang sudah dibongkar) dan kereta api berhenti
tepat di belakang kediaman resmi presiden di Jalan Pegangsaan Timur 56
[5].
Setelah lima belas menit embarkasi, KLB berangkat ke Stasiun Manggarai
dan memasuki jalur 6. Kereta api melanjutkan perjalanan ke Jatinegara
dengan kecepatan 25 km per jam. KLB berhenti di
Stasiun Jatinegara menunggu signal aman dari
Stasiun Klender.
Menjelang pukul 19 KLB melanjutkan perjalanan dengan lampu dimatikan
dan kecepatan lambat agar tidak menarik perhatian pencegat kereta api
yang marak di wilayah itu
[5]. Barikade gerbong kosong juga diletakkan untuk menutupi jalur rel dari jalan raya yang sejajar di sebelahnya.
Diplomasi Syahrir
Tanggal
10 Februari 1946,
pemerintah Belanda membuat pernyataan memperinci tentang politiknya dan
menawarkan mendiskusikannya dengan wakil-wakil Republik yang diberi
kuasa. Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri
dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri,
dan untuk menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang
dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu
parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan
merupakan mayoritas. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi
akan dikepalai oleh wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam
di Indonesia yang dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi
dan persemakmuran akan menjadi rekan (
partner) dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi
PBB.
Pada bulan April dan Mei
1946, Sjahrir mengepalai delegasi kecil Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di
Hoge Veluwe.
Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa
pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu
Indonesia baru mau berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan
bekerja sama dalam segala bidang. Karena itu Pemerintah Belanda
menawarkan suatu kompromi yaitu: "
mau mengakui Republik sebagai salah satu unit negara federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari".
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan
de facto Republik atas bagian
Jawa dan
Madura yang belum berada di bawah perlindungan pasukan
Sekutu. Karena
Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Tanggal
17 Juni 1946,
Sjahrir mengirimkan
surat rahasia kepada
van Mook,
menganjurkan bahwa mungkin perundingan yang sungguh-sungguh dapat
dimulai kembali. Dalam surat Sjahrir yang khusus ini, ada penerimaan
yang samar-samar tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan
sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia; ada pula nada yang
lebih samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonenesia menyetujui
federasi Indonesia - bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara
merdeka dengan kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling
penting. Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini dibahas
beberapa kali sebelumnya, dan semua tokoh politik utama Republik
mengetahui hal ini.
Tanggal
17 Juni 1946,
sesudah Sjahrir mengirimkan surat rahasianya kepada van Mook, surat itu
dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada tanggal
24 Juni 1946,
van Mook mengirim kawat ke
Den Haag: "
menurut
sumber-sumber yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni surat Sjahrir)
tidak disetujui oleh Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya, dia
marah. Tidak jelas, apa arah yang akan diambil oleh amarah itu". Pada waktu yang sama, surat kabar Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang Sjahrir bersedia menerima pengakuan
de facto Republik Indonesia terbatas pada Jawa dan Sumatra.
Penculikan terhadap PM Syahrir
Tanggal
27 Juni 1946, dalam Pidato Peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW, Wakil Presiden
Hatta menjelaskan isi usulan balasan di depan rakyat banyak di alun-alun utama
Yogyakarta, dihadiri oleh
Soekarno dan sebagian besar pucuk pimpinan politik. Dalam pidatonya, Hatta menyatakan dukungannya kepada
Syahrir,
akan tetapi menurut sebuah analisis, publisitas luas yang diberikan
Hatta terhadap surat itu, menyebabkan kudeta dan penculikan terhadap
Syahrir.
Pada malam itu terjadi
peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Syahrir, yang sudah terlanjur dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya". Syahrir diculik di
Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia dibawa ke
Paras, desa dekat Boyolali, di rumah peristirahatan Pracimoharjo, peninggalan Sunan
Pakubuwono X, dan ditahan di sana dengan pengawasan komandan batalyon setempat.
Pada malam tanggal
28 Juni 1946,
Ir Soekarno berpidato di radio
Yogyakarta. Ia mengumumkan, "
Berhubung
dengan keadaan di dalam negeri yang membahayakan keamanan negara dan
perjuangan kemerdekaan kita, saya, Presiden Republik Indonesia, dengan
persetujuan Kabinet dan sidangnya pada tanggal 28 Juni 1946, untuk sementara mengambil alih semua kekuasaan pemerintah". Selama sebulan lebih,
Soekarno mempertahankan kekuasaan yang luas yang dipegangnya. Tanggal
3 Juli 1946,
Sjahrir dibebaskan dari penculikan; namun baru tanggal
14 Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet.
Konferensi Malino - Terbentuknya "negara" baru
Bulan
Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia,
keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah mengusai sebelah
Timur Nusantara. Dalam bulan Juni diadakan konferensi wakil-wakil daerah
di
Malino,
Sulawesi, di bawah Dr. Van Mook dan minta organisasi-organisasi di
seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian; Jawa, Sumatra,
Kalimantan dan Timur Raya.
1946-1947
Peristiwa Westerling
Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di
Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda
Depot Speciale Troepen pimpinan
Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember
1946-Februari
1947 selama operasi militer
Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).
Perjanjian Linggarjati
Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke
Jawa dan membantu
Van Mook dalam
perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua
belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan
yang netral seorang komisi khusus
Inggris,
Lord Killearn. Bertempat di bukit
Linggarjati dekat
Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal
15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut:
- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
- Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini
Kalimantan dan
Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante
didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis
dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya
menjadi bagian
Uni Indonesia-Belanda bersama dengan
Belanda,
Suriname dan
Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar
negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan.
Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya
setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan
lewat
arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke
Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal
15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi
Perundingan Linggarjati.
Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan
tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan
rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.
Peristiwa yang terjadi terkait dengan hasil Perundingan Linggarjati
Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang,
S M Kartosuwiryo ditunjuk
sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite Eksekutif,
yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti sidang KNIP (Komite
Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut membahas apakah
Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh Pemerintah Republik dan
Belanda pada bulan November 1946 akan disetujui atau tidak Kepergian S M
Kartosoewirjo ini dikawal oleh para pejuang Hizbullah dari Jawa Barat,
karena dalam rapat tersebut kemungkinan ada dua kubu yang bertarung
pendapat sangat sengit, yakni antara sayap sosialis (diwakili melalui
partai Pesindo), dengan pihak Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai
Masyumi dan PNI). Pihak sosialis ingin agar KNPI menyetujui naskah
Linggarjati tersebut, sedang pihak Masyumi dan PNI cenderung ingin
menolaknya Ketika anggota KNIP yang anti Linggarjati benar-benar diancam
gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada S M Kartosoewirjo
untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo.
Dr.
H. J. van Mook, kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA)
yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda, dengan
gigih memecah RI yang tinggal tiga pulau ini. Bahkan sebelum naskah itu
ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, ia telah memaksa terwujudnya
Negara Indonesia Timur, dengan
Tjokorda Gde Raka Soekawati sebagai presiden, lewat
Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946.
Pada
bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian Linggarjati ditandatangani
di Batavia. Partai Masyumi menentang hasil perjanjian tersebut, banyak
unsur perjuang Republik Indonesia yang tak dapat menerima pemerintah
Belanda merupakan kekuasaan berdaulat di seluruh Indonesia. Dengan
seringnya pecah kekacauan, maka pada praktiknya perjanjian tersebut
sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.
Proklamasi Negara Pasundan
Usaha
Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu, Belanda
berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa,
memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara militer
negara baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat tergantung pada
Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan
kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.
Di
awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara
Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang
Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa
kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua
minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam
bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung
untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di
Jawa, yang sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan
pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin dipikul oleh
perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan perang. Oleh karena
itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan
komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan
karet).
Agresi Militer I
Pada tanggal
27 Mei 1947,
Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
- Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
- Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
- Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
- Menyelenggarakan
keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang
memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
- Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan
kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan,
tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras
dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika
jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus "mengembalikan
ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada tanggal
20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya
21 Juli 1947) mulailah pihak
Belanda melancarkan '
aksi polisionil' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali
dimana mereka
telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan
yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak
termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung
Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah
Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan
perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar
Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang,
dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi
perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada
bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui
tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan
Belanda.
Menghadapi
aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur
dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka
hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini
menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang
Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan
membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak
Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi
polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan
penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Naiknya Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri
S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada
Masyumi.
Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri
dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang
tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang
diadakan pemerintah RI dengan
Belanda. Di samping itu
Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik
Amir Syarifudin yang kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang
Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik nasional dengan menjadi
Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa
Amir Syarifudin ingin membawa politik Indonesia ke arah
Komunis.
1948
Perjanjian Renville
Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan
Australia dan
India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal
1 Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu
Komisi Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal
17 Januari 1948 berlangsung
konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata
menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah
pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan
berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi
atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggarjati, karena plebisit
akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau
besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi
yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai
diserahkan pada Indonesia Serikat.
Pada
tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik
selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih
terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi
sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung
barat pulau Jawa -Banten tetap daerah Republik Plebisit akan
diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh
Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa
persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak "menimbulkan rasa
benci Amerika".
Sedikit
banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan sesudah
perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan Linggarjati,
melalui perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang
kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung
Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti
sesudah persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari pusat
kembali diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir,
kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung jawab
jika sesuatu salah atau dianggap salah.
Runtuhnya Kabinet Amir dan naiknya Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri
Dengan terpilihnya
Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang
PNI,
Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai.
Amir dan kelompoknya dari
sayap kiri kini menjadi pihak
oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut
Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut
Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu
Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah
Hatta.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi
Amir dibanding dengan
Sjahrir sesudah
Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari sesudah
Amir berhenti, di awal Februari 1948,
Hatta membawa
Amir dan beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi
Provinsi.
Amir diharapkan menjelaskan
Perjanjian Renville. Pada rapat raksasa di
Bukittinggi,
Sumatera Barat, di kota kelahiran Hatta -
dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti terpenting selama perjalanan-
Hatta berbicara tentang kegigihan Republik, dan pidatonya disambut dengan hangat sekali.
Kemudian
Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan
Hatta kemudian: "
Dia
tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa ayang harus
dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak
menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "
Wajah Amir kelihatannya seperti orang yang sudah tidak berarti".
Sjahrir juga diundang ke rapat Bukittinggi ini; dia datang dari
Singapuradan berpidato. Menurut Leon Salim -kader lama Sjahrir- "
Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang tersenyum". Menurut kata-kata saksi lain, "
Seolah-olah ada yang membeku dalam wajah Sjahrir" dan ketika gilirannya berbicara "
Dia hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur". Hatta kemudian juga menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "
Pidatonya pendek".
Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi bara
dendam yang menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
1948-1949
Agresi Militer II
Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta[sunting | sunting sumber]
Serangan yang dilaksanakan pada tanggal
1 Maret 1949 terhadap kota
Yogyakarta secara
secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran
tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III -dengan mengikutsertakan
beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat- berdasarkan instruksi
dari Panglima Besar
Sudirman,
untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI -berarti juga
Republik Indonesia- masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian
dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang
berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan
moral
pasukanBelanda serta membuktikan pada dunia
internasional bahwa
Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan.
Soeharto pada waktu itu sebagai komandan
brigade X/
Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah
Yogyakarta.
Perjanjian Roem Royen
Serangan Umum Surakarta
Serangan
Umum Surakarta berlangsung pada tanggal 7-10 Agustus 1949 secara
gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa
yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka
berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo
dan sekitarnya. Serangan itu menyadarkan
Belanda bila
mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Solo yang
merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil
dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung
oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang andal seperti
Slamet Riyadi.
Konferensi Meja Bundar
Latar belakang
Pada tanggal
6 Agustus 1945 sebuah
bom atom dijatuhkan di atas kota
Hiroshima Jepang oleh
Amerika Serikat yang
mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari
kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga
Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal
9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas
Nagasaki sehingga
menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen
ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan
kemerdekaannya.
Pengibaran bendera pada 17 Agustus 1945.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan
PPKI dan
Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua
BPUPKI diterbangkan ke
Dalat, 250 km di sebelah timur laut
Saigon,
Vietnam untuk bertemu
Marsekal Terauchi.
Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan
akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di
Indonesia, pada tanggal
10 Agustus 1945,
Sutan Syahrir telah
mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.
Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI,
dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal
12 Agustus 1945,
Jepang melalui
Marsekal Terauchi di
Dalat,
Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa
pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia
dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari,
berdasarkan tim PPKI.
[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat,
Sutan Syahrir mendesak
agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap
hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang
telah menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu
nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada
Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa
Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu
dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat
fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan
Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu
adalah hak
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan
proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang
(sic).
Dikibarkannya bendera Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Pada tanggal
14 Agustus 1945 Jepang secara resmi menyerah kepada
Sekutu di kapal
USS Missouri. Tentara dan
Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang berjanji akan mengembalikan
kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio
BBC.
Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan
muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak
menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi.
Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak
menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk
oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita
sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein(Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor
Bukanfu,
Laksamana Muda Maeda,
di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda
menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan
mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta
masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan
Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di
kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari
kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan
oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa
golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan
karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta BPUPKI Dalam perjalanan
sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, dr. Radjiman adalah satu-satunya
orang yang terlibat secara akif dalam kancah perjuangan berbangsa
dimulai dari munculnya Boedi Utomo sampai pembentukan BPUPKI. Manuvernya
di saat memimpin Budi Utomo yang mengusulkan pembentukan milisi rakyat
disetiap daerah di Indonesia (kesadaran memiliki tentara rakyat) dijawab
Belanda dengan kompensasi membentuk Volksraad dan dr. Radjiman masuk di
dalamnya sebagai wakil dari Boedi Utomo.
Pada
sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, ia mengajukan pertanyaan “apa dasar
negara Indonesia jika kelak merdeka?” Pertanyaan ini dijawab oleh Bung
Karno dengan Pancasila. Jawaban dan uraian Bung Karno tentang Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia ini kemudian ditulis oleh Radjiman selaku
ketua BPUPKI dalam sebuah pengantar penerbitan buku Pancasila yang
pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi.
Terbongkarnya dokumen yang berada di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren,
Kabupaten Ngawi ini menjadi temuan baru dalam sejarah Indonesia yang
memaparkan kembali fakta bahwa Soekarno adalah Bapak Bangsa pencetus
Pancasila.
Pada
tanggal 9 Agustus 1945 ia membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Saigon
dan Da Lat untuk menemui pimpinan tentara Jepang untuk Asia Timur Raya
terkait dengan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan Jepang
berencana menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, yang akan menciptakan
kekosongan kekuasaan di Indonesia. tidak tahu telah terjadi
peristiwa Rengasdengklok.
Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang, termasuk
Chaerul Saleh,
Sukarni, dan
Wikana terbakar gelora kepahlawanannya setelah berdiskusi dengan
Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran. Pada dini hari tanggal
16 Agustus 1945, mereka bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama
Fatmawati dan
Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai
peristiwa Rengasdengklok.
Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak
terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno
bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan
Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan
golongan tua, yaitu
Mr. Ahmad Soebardjo melakukan
perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk
mengantar Ahmad Soebardjo ke
Rengasdengklok.
Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta.
Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu -
buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka
pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang
kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan
setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk
menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi)
sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal
Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (
Gunseikan) di
Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh
Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal
Otoshi Nishimura,
Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk
menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa
sejak siang hari tanggal
16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari
Tokyo bahwa Jepang harus menjaga
status quo,
tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan
Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di
Dalat,
Vietnam.
Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura
apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji
agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar
Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura
tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam
meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda
mematuhi perintah Tokyo dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung
Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak
punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah
Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks
Proklamasi.
Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan
Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan
teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan
disaksikan oleh
Soekarni,
B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan
Sayuti Melik.
Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan
penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada
Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan
menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan
administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan
kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M
Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim
Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih
didengungkan.
Setelah
konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut
menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman,
milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.
[2] Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di
Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno,
Jalan Pegangsaan Timur 56[3] (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Detik-detik pembacaan naskah proklamasi
Perundingan
antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks
proklamasi ditulis di ruang makan laksamana Tadashi Maeda Jln Imam
Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs.
Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh
Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah, Sayuti Melik,
Sukarni, dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks
proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa
Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi
harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno,
Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain
Soewirjo,
Wilopo,
Gafar Pringgodigdo,
Tabrani dan
Trimurti.
Acara dimulai pada pukul 10.00 dengan pembacaan proklamasi oleh
Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah
Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul
dengan sambutan oleh
Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan
Moewardi, pimpinan
Barisan Pelopor.
Pada awalnya
Trimurti diminta
untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan
bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu
ditunjuklah
Latief Hendraningrat, seorang prajurit
PETA, dibantu oleh
Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (
Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh
Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu
Indonesia Raya.
[3] Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di
Istana Merdeka.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota
Barisan Pelopor yang
dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui
perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut
Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta
memberikan amanat singkat kepada mereka.
[3]
Pada
tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar
(UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal
sebagai
UUD 45.
Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia
yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan
dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai
presiden dan
wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh
sebuah Komite Nasional.
Isi teks proklamasi
Naskah Proklamasi Klad
Adapun
yang merumuskan proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia terdiri dari
Tadashi Maeda, Tomegoro Yoshizumi, S. Nishijima, S. Miyoshi, Mohammad
Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo
[4].
Para
pemuda yang berada di luar meminta supaya teks proklamasi bunyinya
keras. Namun Jepang tak mengizinkan. Beberapa kata yang dituntut adalah
"penyerahan", "dikasihkan", diserahkan", atau "merebut". Akhirnya yang
dipilih adalah "pemindahan kekuasaan"
[4]. Setelah dirumuskan dan dibacakan di rumah orang Jepang, isi proklamasi pun disiarkan di radio Jepang.
Berikut isi proklamasi tersebut:
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- Proklamasi
- Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
- Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
- dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- Djakarta, 17 - 8 - '05
- Wakil2 bangsa Indonesia.
Naskah Proklamasi Klad ini ditinggal begitu saja dan bahkan sempat masuk ke tempat sampah di rumah Laksamana Muda
Tadashi Maeda.
B.M. Diahmenyelamatkan
naskah bersejarah ini dari tempat sampah dan menyimpannya selama 46
tahun 9 bulan 19 hari, hingga diserahkan kepada Presiden
Soeharto di
Bina Graha pada 29 Mei 1992.
[5][6]
Naskah baru setelah mengalami perubahan
Teks naskah
Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "
Proklamasi Otentik", adalah merupakan hasil ketikan oleh
Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan
Proklamasi), yang isinya adalah sebagai berikut :
-
-
-
-
-
-
-
-
- P R O K L A M A S I
- Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
- Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
- dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
- Atas nama bangsa Indonesia.
- Soekarno/Hatta.
(
Keterangan: Tahun pada kedua teks naskah
Proklamasi di atas (baik pada teks naskah
Proklamasi Klad maupun pada teks naskah
Proklamasi Otentik) tertulis angka "
tahun 05" yang merupakan kependekan dari angka "
tahun 2605", karena tahun penanggalan yang dipergunakan pada zaman pemerintah pendudukan militer
Jepang saat itu adalah sesuai dengan
tahun penanggalan yang berlaku di Jepang, yang kala itu adalah "
tahun 2605".)
Perbedaan teks naskah Proklamasi Klad dan Otentik
Teks Proklamasi yang tercantum pada uang pecahan 100,000 Rupiah.
Di dalam teks naskah Proklamasi Otentik sudah mengalami beberapa perubahan yaitu sebagai berikut :
- Kata "Proklamasi" diubah menjadi "P R O K L A M A S I",
- Kata "Hal2" diubah menjadi "Hal-hal",
- Kata "tempoh" diubah menjadi "tempo",
- Kata "Djakarta, 17 - 8 - '05" diubah menjadi "Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05",
- Kata "Wakil2 bangsa Indonesia" diubah menjadi "Atas nama bangsa Indonesia",
- Isi naskah Proklamasi Klad adalah asli merupakan tulisan tangan sendiri oleh Ir. Soekarno sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil gubahan (karangan) oleh Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Sedangkan isi naskah Proklamasi Otentik adalah merupakan hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi),
- Pada naskah Proklamasi Klad memang tidak ditandatangani, sedangkan pada naskah Proklamasi Otentik sudah ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.
Klip suara naskah yang dibacakan oleh Ir. Soekarno di studio RR
Tempat Pembacaan teks naskah
Proklamasi Otentik oleh
Ir. Soekarno untuk pertama kali adalah di
Jalan Pegangsaan Timur 56 –
Jakarta Pusat, tepat pada tanggal
17 Agustus 1945 (hari di mana diperingati sebagai "
Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia"), pukul 11.30 waktu
Nippon (sebutan untuk negara
Jepang pada saat itu). Waktu
Nippon adalah merupakan patokan zona waktu yang dipakai pada zaman pemerintah pendudukan militer
Jepang kala itu. Namun perlu diketahui pula bahwa pada saat teks naskah
Proklamasi itu dibacakan oleh
Bung Karno, waktu itu tidak ada yang merekam suara ataupun video, yang ada hanyalah dokumentasi foto.
Suara asli dari
Ir. Soekarno saat membacakan teks naskah
Proklamasi yang sering kita dengar saat ini adalah bukan suara yang direkam pada tanggal pada tanggal
17 Agustus 1945 tetapi adalah suara asli dia yang direkam pada tahun
1951 di studio
Radio Republik Indonesia (
RRI), yang sekarang bertempat di Jalan Medan Merdeka Barat 4-5 –
Jakarta Pusat. Dokumentasi berupa suara asli hasil rekaman atas pembacaan teks naskah
Proklamasi oleh
Bung Karno ini dapat terwujudkan adalah berkat prakarsa dari salah satu pendiri
RRI,
Jusuf Ronodipuro.
Teks pidato proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
- Saudara-saudara sekalian!
- Saya telah meminta Anda untuk hadir di sini untuk menyaksikan peristiwa dalam sejarah kami yang paling penting.
- Selama beberapa dekade kita, Rakyat Indonesia, telah berjuang untuk kebebasan negara kita-bahkan selama ratusan tahun!
- Ada
gelombang dalam tindakan kita untuk memenangkan kemerdekaan yang naik,
dan ada yang jatuh, namun semangat kami masih ditetapkan dalam arah
cita-cita kami.
- Juga
selama zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional
tidak pernah berhenti. Pada zaman Jepang itu hanya muncul bahwa kita
membungkuk pada mereka. Tetapi pada dasarnya, kita masih terus membangun
kekuatan kita sendiri, kita masih percaya pada kekuatan kita sendiri.
- Kini
telah hadir saat ketika benar-benar kita mengambil nasib tindakan kita
dan nasib negara kita ke tangan kita sendiri. Hanya suatu bangsa cukup
berani untuk mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri akan dapat
berdiri dalam kekuatan.
- Oleh
karena semalam kami telah musyawarah dengan tokoh-tokoh Indonesia dari
seluruh Indonesia. Bahwa pengumpulan deliberatif dengan suara bulat
berpendapat bahwa sekarang telah datang waktu untuk mendeklarasikan
kemerdekaan.
- Saudara-saudara:
- Bersama ini kami menyatakan solidaritas penentuan itu.
- Dengarkan Proklamasi kami :
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- P R O K L A M A S I
- KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA.
- HAL-HAL YANG MENGENAI PEMINDAHAN KEKUASAAN DAN LAIN-LAIN DISELENGGARAKAN
- DENGAN CARA SAKSAMA DAN DALAM TEMPO YANG SESINGKAT-SINGKATNYA.
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- DJAKARTA, 17 AGUSTUS 1945
- ATAS NAMA BANGSA INDONESIA.
- SOEKARNO-HATTA.
- Jadi, Saudara-saudara!
- Kita sekarang sudah bebas!
- Tidak ada lagi penjajahan yang mengikat negara kita dan bangsa kita!
- Mulai
saat ini kita membangun negara kita. Sebuah negara bebas, Negara
Republik Indonesia-lamanya dan abadi independen. Semoga Tuhan memberkati
dan membuat aman kemerdekaan kita ini! [7]
Penyebaran teks proklamasi
Wilayah Indonesia sangatlah luas. Komunikasi dan transportasi sekitar tahun
1945 masih
sangat terbatas. Di samping itu, hambatan dan larangan untuk
menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia,
merupakan sejumlah faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami
keterlambatan di sejumlah daerah, terutama di luar
Jawa.
Namun dengan penuh tekad dan semangat berjuang, pada akhirnya peristiwa
proklamasi diketahui oleh segenap rakyat Indonesia. Lebih jelasnya
ikuti pembahasan di bawah ini. Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 di daerah
Jakarta dapat
dilakukan secara cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu
juga, teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari
Kantor Domei (sekarang Kantor Berita
ANTARA),
Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan
Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian ia memerintahkan F. Wuz (seorang
markonis), supaya berita proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut.
Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah orang Jepang ke
ruangan radio sambil marah-marah, sebab mengetahui berita proklamasi
telah tersiar ke luar melalui udara.
Meskipun
orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita
proklamasi, tetapi Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus
menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap setengah jam
sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut,
pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan
menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar
tersebut disegel oleh Jepang dan para pegawainya dilarang masuk.
Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, para pemuda bersama Jusuf
Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei) ternyata membuat
pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman,
Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di
Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita
proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Usaha
dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga
dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian
di
Jawa dalam
penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi
kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian
Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita
proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers
antara lain B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi
kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui
pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok dan
gerbong kereta api, misalnya dengan slogan
Respect Our Constitution, August 17!!! (
Hormatilah Konstitusi Kami, 17 Agustus!!!).
Melalui berbagai cara dan media tersebut, akhirnya berita Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan di
luar negeri. Meskipun menggunakan banyak media dan alat penyebaran,
sebelum tahun 2005, pihak Belanda sebagai penjajah Indonesia tak
mengakui Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 (
de facto) melainkan tahun
1949 tanggal 27 Desember sebagaimana pengakuan PBB (
de jure)
[8] sebab mereka berpendapat bahwa pada tahun 1945, kekuasaan di Indonesia
diserahkan kepada Sekutu, bukan
dibebaskan oleh Jepang.
Di samping melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan
secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI.
Berikut ini para utusan PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi :
Peringatan 17 Agustus 1945
Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan ini dengan meriah. Mulai dari
lomba panjat pinang,
lomba makan kerupuk, sampai upacara militer di
Istana Merdeka, seluruh bagian dari masyarakat ikut berpartisipasi dengan cara masing-masing.
Perlombaan
yang seringkali menghiasi dan meramaikan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI
diadakan di kampung-kampung/ pedesaan yang umumnya diikuti oleh
anak-anak dan remaja dan dikoordinir oleh pengurus kampung (RT/RW) / organisasi pemuda setempat (karang taruna).
Peringatan detik-detik proklamasi
Peringatan detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka dipimpin oleh
Presiden RI selaku
Inspektur Upacara.
Upacara dimulai sekitar pukul 10.00 WIB untuk memperingati awal upacara
Proklamasi tahun '45. Seremoni peringatan biasanya disiarkan secara
langsung oleh seluruh
stasiun televisi nasional Indonesia. Acara-acara pada pagi hari termasuk: penembakan meriam dan sirene, pengibaran bendera
Sang Saka Merah Putih (Bendera Indonesia), pembacaan naskah Proklamasi, dll. Pada sore hari terdapat acara penurunan bendera Sang Saka Merah Putih.
Sumber : Wikipedia